Oleh : Firman
Makassar, dimasa-masa permasalahan etnis
Tiong Hoa masih diliputi suasana mencekam, masih terisolirnya budaya yang
terkenal dengan Barongsai dan film Kung Fu atau yang biasa disebut Sersil
(Serial Silat), lahirlah seorang anak
laki-laki dan diberi nama Lie Sau Ran. Dengan Perawakan sedikit berbeda dengan
anak kebanyakan dan melihat dari marga keluarga serta wajah orientalnya
pastilah ia anak keturunan Tiong Hoa. Kehadiran anak laki-laki yang merupakan
anak pertama keluarga Go disambut suka
cita dan setiap saat dipanjatkan doa-doa yang kelak ketika besar bayi Lie Sau
Ran dapat membawa berkah, sehat
sejahtera dan limpahan rezeki bagi keluarga besarnya. Setelah menginjak usia
sekolah, Lie Sau Ran, yang sehari-hari dipanggil Lie oleh orang tua dan
keluarganya, dimasukkan ke taman kanak-kanak, TK Barunawati. Hari – hari bocah berkulit putih dan mata sipit ini, sangat
ceria , aktif dan pengetahuannya akan sesuatu membuatnya semakin disayang oleh
guru-guru di sekolah.
Sifat aktif dan serba ingin tahu dibanding teman-teman TK-nya, dibawah sampai Lie menammatkan sekolah dasar. Prestasi yang di
raih Lie selalu membanggakan orangtuanya
yang sehari – hari membuka bengkel dikawasan Jl. Kalimantan. Setelah menduduki
sekolah lanjutan pertama, kelas dua, kehidupan Lie dan keluarganya berubah seratus delapan puluh
derajat. Keluarga kecil ini mendapat ujian dari Allah. Lie yang
selalu membuat keluarganya bangga akan sifat santun dan patuh pada kedua
orangtua, mengalami hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Lie remaja dan tentu saja keluarga besarnya. Lie yang suka musik, mengalami kebutaan yang disebabkan oleh sakit
mata putih yang dideritanya.
Hal inilah yang menyebabkan jiwa Lie terguncang dan seakan dunia ini tidak adil
padanya. Bayangan masa remaja begitu sulit dan suram. Dirinya tak menyangka seketika penglihatannya
yang begitu terang benderang berubah menjadi gelap gulita. Cobaan ini begitu
berat, apalagi menurut dokter, penglihatannya tak dapat dikembalikan lagi,
walau Ibunya ingin mendonorkan matanya untuk Lie. Ia dan keluarganya harus menerima kenyataan
pahit . Kenyataan bahwa sehari-hari Lie akan
menabrak benda-benda yang ada disekitarnya, kenyataan bahwa Lie harus memulai
dari nol untuk mengenal seisi rumah dan lingkungannya, kenyataan bahwa Lie akan masuk ke dalam masyarakat yang
senantiasa termarginalisasi menerima tertawaan, cemoohan dan rasa kasian yang berlebihan dari orang – orang
disekitarnya.
Dengan mata berkaca - kaca Lie mencoba membesarkan hati ibunya yang tidak
berhenti mengeluarkan air mata semenjak mengetahui mata Lie
tidak berfungsi lagi.
“Sudahlah Bu…” , kata Lie bijaksana sambil mengusap air mata Ibunya.
Ibu Lie belum bisa menerima kenyataan
pahit itu, ia pun rela mendonorkan kedua mata untuk anak kesayangannya, namun
dokter tetap saja mengatakan tidak ada
harapan untuk mengembalikan penglihatan Lie . Dengan sisa-sisa semangat
yang ada di hati Lie , penyuka pangsit mie, mencoba membesarkan hati orangtuanya
dengan selalu berusaha mandiri dan ceria
walau itu dilakukan dengan susah payah dan terkadang Lie menangis
sembunyi-sembunyi dikamar mandi.
Lie remaja yang berambut hitam tebal, putus asa
melakukan itu semua, putus asa harus selalu menampakkan wajah gembira padahal dalam hati Lie begitu menyiksa. Apalagi ketika berjalan,
kakinya terantuk kaki kursi karena ia belum mengenal betul letak perabot
rumahnya, sehingga menimbulkan memar, dan terpaksa rasa sakit ini ditelannya
sendiri, kuatir Ibu Bapaknya sedih. Itu
belum seberapa, ketika telapak kaki
kanan laki-laki penyuka warna hijau ini,
menginjak paku payung yang
ujungnya sudah berkarat, dengan rasa sakit yang tertahan , Lie meraba-raba telapak kakinya, mencari letak
paku. Dengan menahan perih yang amat sangat dia berhasil juga mengeluarkan paku
itu . Lie remaja meringis kesakitan sehingga mengeluarkan air mata. Bertambah
putus asa , membayangkan hari-hari yang dilalui hanya menjadi beban orang tua
dan setiap hari yang dilakukan makan dan tidur. Hati Lie berontak namun dia tidak bisa melakukan
apa-apa, kuatir membuat repot orang
tuanya jika ia mengatakan kebosanannya dengan rutinitas sehari-hari semenjak
dia mengalami kebutaan.
Hari berganti hari, setahun telah berlalu,
remaja tanggung ini masih merenungi
nasib yang dialami, dan Lie belum berani menyampaikan kepada orang tuanya keinginan untuk beradaptasi diluar rumah.
Namun diam-diam Ibu Lie mengetahui kegelisahan anak sulungnya dan
berusaha mencari tahu sekolah khusus
bagi penyandang tunanetra. Berkat usaha yang tidak mengenal lelah, doa yang
setiap hari dipanjatkan, akhirnya Ibu Lie menemukan sekolah yang dikhususkan untuk
tunanetra tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah lanjutan pertama. Hal ini
sungguh sangat menggembirakan bagi Lie yang
sudah berada di tingkat jenuh menghadapi kesehariannya.
Dengan harap-harap cemas, ibu dan anak ini
memasuki halaman asrama Panti Guna YAPTI. Bayangan kecemasan sempat membuat
Lie putus asa. Bagaimana cara dia
mengikuti proses belajar, bagaimana
bergaul dengan komunitasnya, yang kesemuanya adalah tunanetra. Beribu
macam pertanyaan dan kecemasan bergelayut dihatinya. Ibu Lie melirik anak sulungnya sambil senyum
bijaksana, walau Lie tidak melihat
senyum Ibunya. Ibu Lie yang bernama asli
Hartati, bisa merasakan kecemasan anaknya. Digenggamnya tangan Lie erat
seakan-akan memberi kekuatan pada anaknya yang berumur 14 tahun sambil
menuju ruang kepala sekolah.
” Hayo nak,
kamu pasti bisa menjalani ini semua. Ibu memang sedih dan cemas berpisah
denganmu, apalagi dengan kondisimu seperti saat ini. Tapi ibu juga tidak
mau melihatmu begini terus tanpa masa
depan”. Bisik ibu yang masih cantik diusia yang ke 43 tahun.
Dengan ramah Ibu Iis, kepala sekolah SLB-A
YAPTI menerima kedatangan Lie dan
Ibunya, melakukan wawancara
seperlunya dan pendataan. Lie
diperkenalkan dengan bapak, Ibu guru yang berada di ruang kepala sekolah
SLB-A YAPTI, sekolah khusus untuk penyandang tunanetra, dimana SLB ini
satu-satunya sekolah bagian A di kota Makassar. Nampak Lie senyum malu-malu , walau masih ada kecemasan
tersendiri yang dirasakannya. Setelah menyelesaikan beberapa keperluan
administrasi, Lie diantar oleh Ibu Iis, Ibu Abital beserta Ibu
Lie menuju lantai dua, dimana Lie diasramakan selama mengikuti proses belajar
di SLB-A YAPTI.
Kamar Lie
berada diujung barat asrama YAPTI. Sedang diujung timur merupakan asrama
yang dihuni oleh tunanetra khusus wanita. Kamar Lie dihuni oleh sepuluh orang yang kesemuanya
laki-laki, dan nantinya menjadi teman Lie
selama diasramakan. Kamar bercat putih
ini mempunyai lima tempat tidur
susun, masing-masing tempat tidur
diselingi dengan lemari dua pintu dan
tiga meja belajar. Dengan sigap
Ibu Abital guru matematika, meraih
tangan kanan Lie untuk
memperlihatkan seisi kamar dengan cara meraba satu persatu letak tempat tidur , lemari, meja dan letak kamar
mandi.
” Nah...disini Lie tidur. Lantai dua ditempati Fadli, nanti ibu kenalkan ya”. Terang Ibu Abital dengan dialek
daerah yang kental sambil menyentuhkan tempat tidur kasur beralaskan seprei merah. Lie
dengan wajah kekanak-kanakannya tersenyum sambil mengingat-ngingat letak seisi kamar.
Hatinya masih diliputi rasa cemas, tidak percaya diri.
”Bagaimana aku bisa menjalani semua ini tanpa Ibu disampingku. Siapa yang akan mencuci
pakaianku, siapa yang menyiapkan makananku, siapa........”,
batinnya berkecamuk.
” Lie
melamun ya?”. Tegur Ibu Iis
ramah. ”Ditanya kok tidak dijawab?”. Kata ibu yang berjilbab ini. Lie gelagapan menyadari dirinya jadi pusat
perhatian. Wajah putihnya bersemu merah lalu menunduk malu.
”Tidak bu”.
Jawabnya dengan suara kecil namun jelas.
”Ada yang ingin Lie sampaikan ke Ibu, sebelum kita keruang
kelas?” tanya Ibu Iis lagi sambil menyentuh pundak Lie yang wajahnya sudah mulai ditumbuhi jerawat
kecil.
” Tidak bu” , jawabnya malu-malu.
” Baiklah
kalau tidak ada yang ingin disampaikan , mari kita kekelas”. Ajak Ibu Iis
sambil meraih telapak tangan kanan Lie , mendampingi, diikuti Ibu Lie dan ibu Abital.
Sepanjang menuju kelas 1 SMP di lantai
satu , Ibu Iis menjelaskan secara detil
letak ruangan dan kegiatan ektrakulikuler di SLB-A YAPTI serta memberi
motivasi, agar mulai sekarang Lie harus
mengerjakan segala sesuatu dengan mandiri, walau dengan kondisi visual yang
terbatas, namun kemandirian harus
dibina. Melakukan kegiatan seperti mencuci piring sehabis makan, membersihkan
kamar dan tempat tidur, mencuci pakaian , melipat pakaian dan merapikannya
dilemari. Lie hanya mengangguk sambil
menundukkan kepalanya. Buatnya masih
asing untuk memulai hal yang baru lagi . Namun dalam hati, dikumpulkan segenap tekad untuk merubah hidupnya kelak.
Lie remaja menyadari, tak satupun bisa
tercapai tanpa suatu perjuangan dan tekad yang kuat, seperti yang dikatakan papanya jika
berbincang-bincang dengannya .
Di tempat yang baru ini, Lie mulai beradaptasi dengan hal-hal yang baru. Setelah dibina dan
digembleng oleh guru-guru dan pembina di yayasan ini, dengan susah payah
akhirnya dia berhasil juga melakukan kegiatan kerumah tanggaan dengan mandiri
seperti mencuci pakaian, piring, menyapu, dan setiap hari minggu kerja bakti,
seperti non tunanetra lainnya. Dia teringat pertanyaan teman sekelasnya ketika
bertandang diasrama sehabis pulang sekolah, dengan heran dan penasaran Angga
melontarkan pertanyaan,
” Bagaimana kalau seorang tunanetra mandi, sikat gigi, apa dimandikan atau disikat
gigikan?”. Lie yang mendengar pertanyaan
temannya ini ketawa terbaha-bahak.
” Yah... pengalaman saya selama ini”, kata Lie
memulai penjelasannya sambil senyum-senyum,
”Kalau kami-kami ini mau mandi dipanggilkan mobil kebakaran lalu kumpul
di lapangan, berdiri berjejer kemudian disemprot air
. Trus kalau sikat gigi, kami punya sikat gigi yang panjang terbuat dari kayu dan
sisi-sisinya dipasangi tasi tebal, kami juga berdiri berjejer, lalu pembina mulai menyikat
gigi kami, dengan satu gerakan sepuluh gigi tersikat ”. Tambah Lie, kali ini
tawanya memecah ruang musik.
” Sorry man......becanda. Ya nggaklah. Sama kok
dengan orang awas. Mandi seperti biasa
dan sikat gigi seperti biasa juga tanpa dibantu”. Jelasnya setelah ketawanya
reda.
”Angga, memang kami tidak bisa
melihat, tapi kalau soal semangat, kecerdasan, skill, bolehlah
kami diadu”. Saya dan kamu cuman beda tipis kok, beda di visualisasi.
Selebihnya sama saja. Kamukan sudah lihat kegiatan-kegiatan diasrama ini . Jadi saya harap kamu menjadi mitra
kami untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa, walau keadaan kami yang kurang namun jangan dipandang sebelah
mata. Kami juga punya hak yang sama dengan warga lainnya. Hak hidup lebih baik
dan sejahtera, hak mendapat pekerjaan, hak pendidikan, hak berkreasi serta
mengekspresikan diri. Kami ini tidak butuh dikasihani atau diberi bingkisan
pada acara ceremonial saja, tapi kesempatan untuk meraih cita-cita dan hidup
layak seperti orang normal lainnya”. Jelas Lie panjang lebar dengan mimik
serius.
Hari- hari yang dilalui Lie bersama 35 orang tunanetra sangat menyenangkan, apalagi hobinya dimusik terutama gebuk drum semakin tersalurkan dengan fasilitas yang tersedia di
asrama. Hal yang baru saja dia kuasai adalah mengoperasikan komputer. Dengan tekhnologi JAWS (Job Acces
With Speach) seorang tunanetra dapat
dengan mandiri mengetik
dikomputer seperti orang melihat lainnya,
mendengar buku serta mencari situs di internet. ” Allah maha penyayang,
dengan kondisiku yang tidak sempurna ini, Allah memberi pengetahuan untuk
menciptakan tekhnologi komputer bicara, sehingga saya dengan mudah dapat
menuangkan hobi menulisku secara mandiri”, bathinnya penuh syukur sambil mengetik naskah cerpen. ”Ah.... dibalik
semua kejadian, Allah memberi hikmah yang sangat luar biasa. Saya
tidak menyesali apa yang terjadi dengan penglihatanku, karena mataku ini punya
Allah, jadi kapanpun maha pencipta memintanya kembali, sebagai mahluknya tidak
berkuasa untuk menolak. Walau demikian, dengan kondisi terbatas,
aku masih punya pendengaran, tangan, kaki, otak dan nuarani untuk selalu
mensyukuri nikmat Allah. Insya Allah akan kupergunakan apa yang tersisa pada
diriku untuk selalu menikmati karunianya”. Tambahnya membathin sambil terus menyelesaikan naskah
cerita pendek. Ada senyum manis tersungging dibibirnya.
Tanpa terasa waktu terus bergulir, berputar mengiringi berbagai aktifitas keseharian penghuni asrama
YAPTI. Hari ini tahun keenam Lie berada
di asrama, itu berarti tahun yang
menegangkan buatnya, karena tahun ini akan menyelesaikan pendidikannya di
sekolah menengah atas . Sekolah inklusi, istilah untuk institusi pendidikan yang menerima komunitas
penyandang cacat bergabung dengan
siswa-siswi non penyandang cacat. Hatinya mulai diliputi rasa cemas, apa
dia akan lulus ujian atau malah harus mengulang dikelas tiga. Tak
dihiraukannya, seseorang dari kejauhan yang juga cemas melihat sikapnya, sebatar-
sebentar mondar-mandir bak setrikaan, sebentar – sebentar duduk.
” Lie,
sudah sarapan belum?”. Sapa Fadli teman sekamar Lie, yang kini tumbuh menjadi pemuda dewasa. Yang
disapa tidak mendengar, asyik mendudukkan kepala sambil kedua tangannya bergerak mengikuti gebukan drum. Istilah
dalam ilmu ketunanetraan adalah blind nisem yaitu
gerakan refleks yang dilakukan tunanetra sehingga menimbulkan kesan lucu atau kikuk. Biasanya seorang tunanetra
akan melakukannya dalam keadaan diam.
”Hai...!! pagi-pagi melamun”. Sekali
lagi Fadli menegur temannya yang dipanggil friend sambil menyenggol pergelangan
tangan Lie .
”Eh......,mm....sudah”. Jawabnya datar.
Kembali laki-laki yang diatas bibirnya
sudah mulai ditumbuhi kumis tipis, melakukan aktifitas seakan-akan gebuk drum.
Fadli hanya angkat alis melihat sikap sahabatnya.
Seratus
meter dari tempat duduk sahabat kental ini, wajah manis berambut sebahu, yang
sedari tadi memperhatikan Lie, melirik
malu –malu kearah laki-laki marga Go . Pingin menegur dan memberi semangat,
tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Wanita muda ini hanya memperhatikan
wajah Lie dari tempatnya duduk, nampak
wajahnya bersemu merah menyadari
kelakuannya yang sangat memalukan.
” Siapa
disitu !”. Menyadari ada yang memperhatikannya, Lie bersuara.
” Saya..., eng.....”. Jawab Kayla dengan suara tipis, wajahnya menunduk.
”Duh.....kenapa jadi begini. Aku harus
bagaimana?. Duh... bodohnya diriku. Aku salah tingkah, padahal Lie tidak bisa melihatku’. Kata Kayla dalam hati.
”O....”. Lie
menjawab dengan suara bulat, kemudian melanjutkan lamunannya.
Kayla bertambah bodoh dibuatnya. Dengan keberanian yang
tersisa didiri Kayla, gadis berwajah putih ini mencoba memecahkan kesunyian.
” Kak Lie, besok jam berapa pengumuman
ujiannya?” Sebetulnya pertanyaan bodoh karena Kayla sudah tahu jam berapa
pengumuman ujian kelas tiga, Kayla
sendiri satu sekolah dengan Lie, Lie kakak kelas Kayla.
” O......, jam sebelas mungkin”. Jawab Lie
sekenanya, kemudian berdiri dan berlalu dari ruang tamu asrama tanpa
menunjukkan ekspresi apapun.
Kayla sangat dongkol melihat
sikap acuh Lie. Namun Kayla hanya diam sambil bolak-balik lembaran buku smart
emotion karangan Anthoni Deo Marthin yang dipegangnya. Lie mengeluh pendek.
” Maafkan saya La. Kamu sangat baik padaku.
Dari kelas satu SMA sampai sekarang kamu selalu membantu saya membacakan buku,
menulis tugas sekolah. Kamu selalu ada setiap saya membutuhkan pertolongan. Aku
sangat menyukaimu. Tapi, aku ragu, apakah kamu juga menyukaiku. Memang kamu
sangat perhatian padaku tapi apa itu berarti kamu juga menyukaiku?”. Perang
bathin berkecamuk dihati Lie.
Sebetulnya hati Lie sakit. Sakit menunjukkan sikap acuh pada
Kayla. Tapi mau bagaimana lagi. Bergegas Lie masuk kekamarnya, mengambil compack
disk lalu memasukkan CD rekaman buku bermain dengan drum.
” Maafkan saya La ”. Bisik Lie sekali
lagi sambil mendengarkan rekaman tersebut.
Kayla masih duduk diruang tamu
asrama. Nampak Muli, salah seorang tunanetra wanita asyik menyimak buku
yang dibacakan oleh Kayla. Kayla yang
sehari-hari sebagai volunteer atau istilah di asrama YAPTI ini adalah mitra
bakti, membantu dengan sukarela. Mempunyai kegiatan membacakan buku, mengantar
seorang tunanetra kesuatu tempat yang
baru dikunjungi, dan mengerjakan pekerjaan yang tidak memungkin seorang tunanetra
mengerjakannya sendiri. Selama dua tahun bermitra di yayasan ini banyak
pengalaman yang didapat Kayla, semangat baca bukunya meningkat,
pengetahuannya bertambah dan beragam,
semakin mengenal karakter seseorang, serta pengalaman organisasinya berkembang. Bagi Kayla yang berkulit hitam manis, ini pengalaman yang sangat luar biasa,
dan membuatnya betah berlama- lama bila
berkunjung diasrama bercat coklat. Kayla
semakin memahami kebesaran Allah. Allah
Maha Benar, tidak ada yang membedakan
dirinya yang melihat dengan seorang tunanetra.
Selama ini orang menganggap,
penyandang cacat khususnya tunanetra hanya bisa merepotkan orang lain, tapi
kenyataannya seorang tunanetra bisa juga melakukan hal – hal diluar dugaan
seperti memperbaiki lemari, kursi,
bahkan menjadi pilot pesawat sekalipun. Yang membedakan hanya cara
pandang akan sesuatu dan semangat untuk meningkatkan diri keluar dari
kebodohan. Inilah yang membuat Kayla kagum pada Lie, semangatnya untuk menjadi
yang terbaik selalu diperlihatkan. Hatinya berdesir mengingat
nama laki-laki yang mempunyai senyum misterius ini.
” Mul, sudah jam enam sore, Insya
Allah besok bacaannya dilanjut lagi ya. Kakak mau pulang”.
”Eh... iya..., sampai lupa. Abis suara kakak merdu sih, jadi ngak
bosan dengarnya”. Puji Muli. Yang dipuji hanya senyum – senyum sambil beranjak
dari tempat duduknya.
”okey sampai ketemu lagi. Assalamu
Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh, makasih ya kak”.
”Iya.....”.
********************
Angin semilir berhembus halus di wajah Lie. Didepannya ada secakir susu ovaltine panas dan roti manis. Sore ini
hatinya suka cita karena minggu depan, akan memulai kehidupan yang baru dan
semangat baru. ”Menjadi seorang mahasiswa”. ”Semoga aku bisa menjalani semuanya
dengan lebih baik dan lebih tabah”. Doanya dalam hati penuh semangat.
”Cie.....mahasiswa ni ye....., iyo
tawwa. Jadi kapan mulai kuliah?”. Tiba-tiba
salah seorang mitra bakti , Lina, menghampiri Lie yang duduk sendiri dibawah pohon jambu.
” Insya Allah minggu depan”. Balas Lie sambil senyum.
” Iya pale, selamat, semoga menjadi mahasiswa yang
terbaik. Jangan segan-segan minta tolong kalau memerlukan sesuatu. Poko na’
bilang sajalah”. Tawar Lina dengan logat Makassarnya.
” Pergi ka’ dulu nah, ada buku mau ku
bacakan Ruslan”.
”Iye makasih”.
Lie bersyukur banyak
teman-teman yang memperhatikan dirinya, memberi semangat untuk selalu berjuang
menjadi yang terbaik. Lie sadar ketunanetraannya akan menjadi halangan
tersendiri bila sudah aktif di kampus
nanti. Namun Lie bertekad akan melalui itu semua . Ini hanya masalah
penglihatan. Allah tidak akan meninggalkan hambanya yang selalu meminta
pertolongan. Toh....senior-seniornya juga mengalami hal seperti dirinya tapi
berhasil juga , malah sekarang ada yang berhasil menjadi salah seorang anggota
KOMNAS HAM. Lagian hari-harinya akan lebih bersemangat karena disampingnya ada Kayla.
”Ops....!”. ”Kayla.....?” . Lie kaget
sendiri dengan kata hatinya. Tiba-tiba rasa kangen mendera disetiap relung
hatinya. ”Ya, aku harus ketemu Kayla. Mungkin terlambat mengatakan perasaanku,
atau mungkin Kayla akan menolak diriku. Tapi setidak-tidaknya semua semakin
jelas dan hatiku akan tenang menahan rindu.
Siang
begitu terik, namun hati Lie sangat teduh. Tongkat putihnya diayun kiri kanan
menyusuri jalan kecil menuju asrama. Dengan tongkat ini, mobilitasnya sangat
terbantu. Karena tidak mungkin sepanjang
hidupnya didampingi seorang mitra untuk mengantarnya kemana-mana. Karena
mitra-mitra tersebut juga manusia, punya kesibukan tersendiri. Memang dalam
waktu – waktu tertentu, dia harus ditemani, didampingi oleh orang awas, namun
sebisa mungkin Lie melakukan aktifitasnya
secara mandiri. Bagi Lie, dia harus bangkit menjadi yang terbaik, sudah
waktunya untuk mandiri. Membuktikan pada diri sendiri dan pada dunia, bahwa
tunanetra yang disandangnya, bukan suatu penghalang untuk meraih kesuksesan.
Hati
Lie kebat kebit tidak karuan. Makanan didepannya hanya disentuh sesendok. Lie
tidak berselera melanjutkan makan siangnya. Darah yang mengalir dalam tubuhnya
berdesir aneh, rasa bahagia. Lie menekan
tombol kecil disudut jam talking yang ada dipergelangan tangan kirinya.
Terdengar suara yang menunjukkan pukul 14.37. Itu berarti dua jam lagi dari
sekarang Kayla akan datang . Pagi tadi dikampus, Lie janjian ketemu Kayla di asrama
ini. Lie bertekad akan menyatakan perasaannya. Sebetulnya disudut hati yang
lain, Lie ragu. Apa benar Kayla juga punya perasaan yang sama dengannya.
Berlahan-lahan Lie menepis keraguannya tersebut. ”Tidak, aku tidak bisa
menundanya. Aku menyukai Kayla. Aku harus mengatakannya sekarang. Mungkin
terlambat atau mungkin saya ditolak. Namun setidak-tidaknya perasaanku ini ada
kepastiannya”. Berkecamuk bathin
Lie.
Lie
asyik mendengarkan e-book (elektronik
book) Hary Potter ketika Kayla memasuki ruang komputer. ’” Siapa itu?”. Dengan
langkah-langkah kaki Kayla, Lie tahu bahwa yang baru masuk itu pasti Kayla.
Cewek yang membuat hari-harinya semakin berwarna.
”Assalamu Alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh”.
” Waalaikum Salam
Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Kak, katanya ada yang ingin
disampaikan ?” Tanya Kayla sambil menarik kursi dan duduk didepan Lie. Lie
mematikan komputer. Lalu membalikkan badan kearah Kayla, memperbaiki duduknya.
Hatinya kembali berdesir aneh. Lie tersenyum manis kearah Kayla. Kayla membalasnya.
Walau Lie tidak melihat senyum gadis didepannya namun kepekaannya sangat luar
biasa.
”
La....., saya minta maaf memanggilmu
kemari. Memang ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu”. Lie diam sejenak
menyusun kata-kata yang tepat, agar tidak menyinggung perasaan Kayla dan maksud
hatinya juga kesampaian. Kayla menahan
napas dibuatnya. Hati kewanitaanya merasa apa yang akan disampaikan Lie, itu
juga yang ada dihatinya. Namun Kayla
menunggu pernyataan itu keluar dari bibir Lie sendiri.
” Ayo dong
kak, lama sekali lamunannya. Buruan neh” . Desak Kayla dalam hati.
Penasaran melihat sikap Lie.
” Aku juga punya perasaan yang sama
dengan kakak kok”. Bisik Kayla lagi.
” La.....saya me...............”.
” Kay ..... hai....lho kok masih
disini. Katanya mau menemani saya nonton. Kata mamamu kamu keasrama, jadi saya
susul kesini. Aku sudah izin sama macemu. Kita nonton di TO ya. Ayo dong buruan
”. Tiba – tiba Hanung nyelong masuk keruang komputer.
” Hai ..Lie, apa kabar?” Hanung
beralih kearah Lie, meraih tangan kanan
Lie menjabat erat. Hanung salah seorang mitra bakti yang baru saja bergabung di
yayasan ini.
” Alhamdulillah baik. Kak Hanung baik
juga”. Lie sangat dongkol dengan kehadiran Hanung yang secara tiba-tiba.
Apalagi dengan ajakan Hanung. Mereka sudah janjian nonton rupanya. Hati Lie
sakit. Tapi Lie mencoba tersenyum tulus. Nampak Kayla serba salah. Wajahnya
merah menahan marah.
’Siapa yang janjian nonton”. Gerutu
Kayla dalam hati.
” Kak Lie ta......”
” La....ok besok saja ya , tugas
bahasa inggris saya ditulis . Ini bukunya. Makasih sebelumnya. Selamat
bersenang-senang”. Potong Lie sambil menyerahkan buku tulis ketangan Kayla. Lie
beranjak pergi setelah pamit pada Hanung. Hancur hati Lie.
”Bodohnya diriku ini. Semestinya dari
awal aku tahu, Hanung juga punya rasa terhadap Kayla. Saya memang tidak pantas
kok”. Lie berjalan gontai menuju lantai
dua, kekamarnya.
” Pasti Kayla lebih memilih Hanung
dari pada diriku yang tidak bisa melihat. Apa yang bisa dibanggakan dari
seorang tunanetra sepertiku”. Resah Lie dalam hati.
Masih ditempat duduknya, Kayla
hanya memandang buku Lie. Hatinya kacau, kecewa, sakit hati. Pingin nangis
sejadi-jadinya tapi malu dengan penghuni asrama ini. Tak dihiraukannnya desakan
Hanung untuk segera beranjak dari tempat duduknya .
” Ah.... semestinya saya tahu,
perasaan Lie cuma sebatas minta tolong dibacakan buku. Tidak lebih. Apalah saya
ini, masih SMA. Tentu cewek-cewek dikampusnya banyak yang cantik dan lebih
cerdas dariku. Lebih loyal untuk membantunya”.
” Ayo dong buruan, sudah jam setelah
lima’. Desak Hanung lagi.
Perlahan Kayla beranjak dari tempat
duduknya, mengikuti langkah Hanung.
wajahnya masih muram. Berat sekali kakinya untuk melangkah. Ketika
melewati asrama, kepala Kayla mendongak kearah kamar Lie berharap ada bayangan
Lie atau terdengar suara Lie. Namun hatinya kecewa. Ada sepotong hatinya
tertinggal diasrama. Kayla menarik napas panjang mengeluarkan sesak didadanya.
Lie
duduk diujung tempat tidurnya. Sepotong hatinya terbawa langkah kaki Kayla.
Berkali-kali Lie manarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Ada air
bening jatuh disudut mata Lie. Lie tidak menyekanya, membiarkan air matanya
jatuh menyentuh lantai.
” Aku harus tegar, rasa ini hanya
sedikit dari cobaan yang harus kuhadapi untuk meraih masa depan yang lebih
cerah”. Bisiknya mencoba menghibur diri. Diingatnya semua bacaan dari pakar
motivasi.
” Ya...! Aku harus bangkit. Mungkin
belum waktunya merasakan hal seperti ini. Akan tiba saatnya. Yang penting aku
harus semangat menyelesaikan kuliah. Menyusun semua target hidupku. Membuat
bangga komunitas dan tentu saja kedua orang tua dan adikku”.
Senyum Lie kembali berkembang, manis
dan tulus.
” bantu aku ya Allah”. Doanya dalam hati.
Lamat-lamat terdengar lagu Naff
”kesempurnaan cinta”
Kau begitu berarti, sungguh sangat berarti
Kesempurnaan cinta kau beri.......
Aku menyayangimu dalam senyum dan tangisku
Dan aku mencintaimu dalam hidup dan matiku..............
cerita yang luar biasa
BalasHapus