Kamis, 17 Mei 2012

Ketegaran Lie

Oleh :  Firman

Makassar, dimasa-masa permasalahan etnis Tiong Hoa masih diliputi suasana mencekam, masih terisolirnya budaya yang terkenal dengan Barongsai dan film Kung Fu atau yang biasa disebut Sersil (Serial Silat),  lahirlah seorang anak laki-laki dan diberi nama Lie Sau Ran. Dengan Perawakan sedikit berbeda dengan anak kebanyakan dan melihat dari marga keluarga serta wajah orientalnya pastilah ia anak keturunan Tiong Hoa. Kehadiran anak laki-laki yang merupakan anak pertama keluarga Go  disambut suka cita dan setiap saat dipanjatkan doa-doa yang kelak ketika besar bayi Lie Sau Ran  dapat membawa berkah, sehat sejahtera dan limpahan rezeki bagi keluarga besarnya. Setelah menginjak usia sekolah, Lie Sau Ran, yang sehari-hari dipanggil Lie oleh orang tua dan keluarganya, dimasukkan ke taman kanak-kanak, TK Barunawati. Hari – hari bocah  berkulit putih dan mata sipit ini, sangat ceria , aktif dan pengetahuannya akan sesuatu membuatnya semakin disayang oleh guru-guru di sekolah.
Sifat aktif dan serba ingin tahu  dibanding teman-teman TK-nya, dibawah sampai Lie  menammatkan sekolah dasar. Prestasi yang di raih Lie  selalu membanggakan orangtuanya yang sehari – hari membuka bengkel dikawasan Jl. Kalimantan. Setelah menduduki sekolah lanjutan pertama, kelas dua, kehidupan Lie  dan keluarganya berubah seratus delapan puluh derajat. Keluarga kecil ini mendapat ujian dari Allah. Lie  yang  selalu membuat keluarganya bangga akan sifat santun dan patuh pada kedua orangtua, mengalami hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Lie  remaja dan tentu  saja keluarga besarnya. Lie  yang suka musik,  mengalami kebutaan yang disebabkan oleh sakit mata putih yang dideritanya.
Hal inilah yang menyebabkan jiwa Lie  terguncang dan seakan dunia ini tidak adil padanya. Bayangan masa remaja begitu sulit dan suram.  Dirinya tak menyangka seketika penglihatannya yang begitu terang benderang berubah menjadi gelap gulita. Cobaan ini begitu berat, apalagi menurut dokter,  penglihatannya tak dapat dikembalikan lagi, walau Ibunya ingin mendonorkan matanya untuk Lie.  Ia dan keluarganya harus menerima kenyataan pahit . Kenyataan bahwa sehari-hari Lie  akan menabrak benda-benda yang ada disekitarnya, kenyataan bahwa Lie  harus memulai  dari nol untuk mengenal seisi rumah dan lingkungannya, kenyataan bahwa Lie  akan masuk ke dalam masyarakat yang senantiasa termarginalisasi menerima tertawaan, cemoohan dan rasa kasian  yang berlebihan dari orang – orang disekitarnya.
Dengan mata berkaca - kaca Lie  mencoba membesarkan hati ibunya yang tidak berhenti mengeluarkan air mata semenjak mengetahui  mata Lie  tidak berfungsi lagi. 
“Sudahlah Bu…” , kata Lie  bijaksana sambil mengusap air mata Ibunya. Ibu Lie  belum bisa menerima kenyataan pahit itu, ia pun rela mendonorkan kedua mata untuk anak kesayangannya, namun dokter tetap saja mengatakan tidak ada  harapan untuk mengembalikan penglihatan Lie . Dengan sisa-sisa semangat yang ada di hati  Lie , penyuka  pangsit mie, mencoba membesarkan hati orangtuanya dengan selalu berusaha mandiri dan ceria   walau itu dilakukan dengan susah payah dan terkadang Lie  menangis  sembunyi-sembunyi dikamar mandi.
 Lie  remaja yang berambut hitam tebal, putus asa melakukan itu semua, putus asa harus selalu menampakkan wajah  gembira padahal dalam hati Lie  begitu menyiksa. Apalagi ketika berjalan, kakinya terantuk kaki kursi karena ia belum mengenal betul letak perabot rumahnya, sehingga menimbulkan memar, dan terpaksa rasa sakit ini ditelannya sendiri, kuatir Ibu Bapaknya sedih.  Itu belum seberapa, ketika  telapak kaki kanan laki-laki penyuka warna hijau ini,  menginjak paku  payung yang ujungnya sudah berkarat, dengan rasa sakit yang tertahan , Lie  meraba-raba telapak kakinya, mencari letak paku. Dengan menahan perih yang amat sangat dia berhasil juga mengeluarkan paku itu . Lie  remaja meringis kesakitan  sehingga mengeluarkan air mata. Bertambah putus asa , membayangkan hari-hari yang dilalui hanya menjadi beban orang tua dan  setiap hari  yang dilakukan  makan dan tidur. Hati Lie  berontak namun dia tidak bisa melakukan apa-apa,  kuatir membuat repot orang tuanya jika ia mengatakan kebosanannya dengan rutinitas sehari-hari semenjak dia mengalami kebutaan.
Hari berganti hari, setahun telah berlalu, remaja tanggung ini  masih merenungi nasib yang dialami, dan Lie belum berani menyampaikan  kepada orang tuanya  keinginan untuk beradaptasi diluar rumah. Namun  diam-diam Ibu Lie  mengetahui kegelisahan anak sulungnya dan berusaha mencari tahu  sekolah khusus bagi penyandang tunanetra. Berkat usaha yang tidak mengenal lelah, doa yang setiap hari dipanjatkan,  akhirnya Ibu Lie  menemukan sekolah yang dikhususkan untuk tunanetra tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah lanjutan pertama. Hal ini sungguh sangat menggembirakan bagi Lie  yang sudah berada di tingkat jenuh menghadapi kesehariannya.  
Dengan harap-harap cemas, ibu dan anak ini memasuki halaman asrama Panti Guna YAPTI. Bayangan kecemasan sempat membuat Lie  putus asa. Bagaimana cara dia mengikuti proses belajar, bagaimana  bergaul dengan komunitasnya, yang kesemuanya adalah tunanetra. Beribu macam pertanyaan dan kecemasan bergelayut dihatinya. Ibu Lie  melirik anak sulungnya sambil senyum bijaksana, walau Lie  tidak melihat senyum Ibunya. Ibu Lie  yang bernama asli Hartati,  bisa merasakan kecemasan  anaknya. Digenggamnya tangan Lie  erat  seakan-akan memberi kekuatan pada anaknya yang berumur 14 tahun sambil menuju  ruang kepala sekolah.
 ” Hayo nak, kamu pasti bisa menjalani ini semua. Ibu memang sedih dan cemas berpisah denganmu, apalagi dengan kondisimu seperti saat ini. Tapi ibu juga tidak mau  melihatmu begini terus tanpa masa depan”. Bisik ibu yang masih cantik diusia yang ke 43 tahun.   
Dengan ramah Ibu Iis, kepala sekolah SLB-A YAPTI menerima kedatangan Lie  dan Ibunya,   melakukan wawancara seperlunya  dan pendataan.  Lie  diperkenalkan dengan bapak, Ibu guru yang berada di ruang kepala sekolah SLB-A YAPTI, sekolah khusus untuk penyandang tunanetra, dimana SLB ini satu-satunya sekolah bagian A di kota Makassar. Nampak Lie  senyum malu-malu , walau masih ada kecemasan tersendiri yang dirasakannya. Setelah menyelesaikan beberapa keperluan administrasi,  Lie  diantar oleh Ibu Iis, Ibu Abital beserta Ibu Lie  menuju  lantai dua, dimana Lie  diasramakan selama mengikuti proses belajar di SLB-A YAPTI.
Kamar Lie  berada diujung barat asrama YAPTI. Sedang diujung timur merupakan asrama yang dihuni oleh tunanetra khusus wanita. Kamar Lie  dihuni oleh sepuluh orang yang kesemuanya laki-laki, dan nantinya menjadi teman Lie  selama diasramakan. Kamar bercat putih  ini  mempunyai lima tempat tidur susun,  masing-masing tempat tidur diselingi dengan lemari dua pintu dan  tiga meja belajar. Dengan sigap  Ibu Abital guru matematika, meraih  tangan kanan Lie  untuk memperlihatkan seisi kamar dengan cara meraba satu persatu letak  tempat tidur , lemari, meja dan letak kamar mandi.
Nah...disini  Lie  tidur. Lantai dua ditempati  Fadli, nanti ibu  kenalkan ya”. Terang Ibu Abital dengan dialek daerah yang kental sambil menyentuhkan tempat tidur kasur  beralaskan seprei merah.  Lie  dengan wajah kekanak-kanakannya tersenyum  sambil mengingat-ngingat letak seisi kamar. Hatinya masih diliputi rasa cemas, tidak percaya diri.
”Bagaimana aku bisa menjalani  semua ini tanpa  Ibu disampingku. Siapa yang  akan mencuci  pakaianku, siapa yang menyiapkan makananku, siapa........”, batinnya  berkecamuk.
” Lie  melamun ya?”. Tegur Ibu  Iis ramah. ”Ditanya kok tidak dijawab?”. Kata ibu yang berjilbab ini. Lie  gelagapan menyadari dirinya jadi pusat perhatian. Wajah putihnya bersemu merah lalu menunduk malu.
 ”Tidak bu”. Jawabnya dengan suara kecil namun jelas.
”Ada yang ingin Lie  sampaikan ke Ibu, sebelum kita keruang kelas?” tanya Ibu Iis lagi sambil menyentuh pundak Lie   yang wajahnya sudah mulai ditumbuhi jerawat kecil.
” Tidak bu” , jawabnya malu-malu.
 ” Baiklah kalau tidak ada yang ingin disampaikan , mari kita kekelas”. Ajak Ibu Iis sambil meraih telapak tangan kanan Lie , mendampingi, diikuti Ibu Lie   dan ibu Abital.
Sepanjang menuju kelas 1 SMP di lantai satu , Ibu Iis menjelaskan secara detil  letak ruangan dan kegiatan ektrakulikuler di SLB-A YAPTI serta memberi motivasi, agar mulai sekarang Lie  harus mengerjakan segala sesuatu dengan mandiri, walau dengan kondisi visual yang terbatas, namun  kemandirian harus dibina. Melakukan kegiatan seperti mencuci piring sehabis makan, membersihkan kamar dan tempat tidur, mencuci pakaian , melipat pakaian dan merapikannya dilemari. Lie  hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Buatnya masih  asing untuk memulai hal yang baru lagi . Namun  dalam hati, dikumpulkan  segenap tekad untuk merubah hidupnya kelak. Lie  remaja menyadari, tak satupun bisa tercapai tanpa suatu perjuangan dan tekad yang kuat, seperti  yang dikatakan papanya jika berbincang-bincang dengannya .
Di tempat yang baru ini, Lie  mulai beradaptasi dengan  hal-hal yang baru. Setelah dibina dan digembleng oleh guru-guru dan pembina di yayasan ini, dengan susah payah akhirnya dia berhasil juga melakukan kegiatan kerumah tanggaan dengan mandiri seperti mencuci pakaian, piring, menyapu, dan setiap hari minggu kerja bakti, seperti non tunanetra lainnya. Dia teringat pertanyaan teman sekelasnya ketika bertandang diasrama sehabis pulang sekolah, dengan heran dan penasaran Angga melontarkan pertanyaan,
” Bagaimana kalau seorang tunanetra mandi,  sikat gigi, apa dimandikan atau disikat gigikan?”. Lie  yang mendengar pertanyaan temannya ini ketawa terbaha-bahak.
” Yah... pengalaman saya selama ini”, kata Lie memulai penjelasannya sambil senyum-senyum,  ”Kalau kami-kami ini mau mandi dipanggilkan mobil kebakaran lalu kumpul di lapangan, berdiri berjejer kemudian disemprot air . Trus kalau sikat gigi, kami punya   sikat gigi yang panjang terbuat dari kayu dan sisi-sisinya dipasangi tasi tebal, kami juga  berdiri berjejer, lalu pembina mulai menyikat gigi kami, dengan satu gerakan sepuluh gigi tersikat ”. Tambah Lie, kali ini tawanya memecah ruang  musik.
” Sorry  man......becanda. Ya nggaklah. Sama kok dengan  orang awas. Mandi seperti biasa dan sikat gigi seperti biasa juga tanpa dibantu”. Jelasnya setelah ketawanya reda.
”Angga, memang kami tidak bisa melihat, tapi kalau soal semangat, kecerdasan, skill,  bolehlah  kami diadu”. Saya dan kamu cuman beda tipis kok, beda di visualisasi. Selebihnya sama saja. Kamukan sudah lihat kegiatan-kegiatan diasrama ini . Jadi saya harap kamu menjadi mitra kami untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa, walau keadaan kami  yang kurang namun jangan dipandang sebelah mata. Kami juga punya hak yang sama dengan warga lainnya. Hak hidup lebih baik dan sejahtera, hak mendapat pekerjaan, hak pendidikan, hak berkreasi serta mengekspresikan diri. Kami ini tidak butuh dikasihani atau diberi bingkisan pada acara ceremonial saja, tapi kesempatan untuk meraih cita-cita dan hidup layak seperti orang normal lainnya”. Jelas Lie panjang lebar dengan mimik serius. 
Hari- hari yang dilalui Lie  bersama 35 orang tunanetra  sangat menyenangkan, apalagi  hobinya dimusik terutama gebuk drum semakin  tersalurkan dengan fasilitas yang tersedia di asrama. Hal yang baru saja dia kuasai adalah mengoperasikan  komputer. Dengan tekhnologi JAWS (Job Acces With Speach) seorang tunanetra dapat  dengan mandiri  mengetik dikomputer seperti orang melihat lainnya,  mendengar buku serta mencari situs di internet. ” Allah maha penyayang, dengan kondisiku yang tidak sempurna ini, Allah memberi pengetahuan untuk menciptakan tekhnologi komputer bicara, sehingga saya dengan mudah dapat menuangkan hobi menulisku secara mandiri”, bathinnya penuh syukur  sambil mengetik naskah cerpen. ”Ah.... dibalik semua kejadian,  Allah  memberi hikmah yang sangat luar biasa. Saya tidak menyesali apa yang terjadi dengan penglihatanku, karena mataku ini punya Allah, jadi kapanpun maha pencipta memintanya kembali, sebagai mahluknya tidak berkuasa untuk menolak. Walau demikian, dengan kondisi  terbatas,  aku masih punya pendengaran, tangan, kaki, otak dan nuarani untuk selalu mensyukuri nikmat Allah. Insya Allah akan kupergunakan apa yang tersisa pada diriku untuk selalu menikmati karunianya”. Tambahnya  membathin sambil terus menyelesaikan naskah cerita pendek. Ada senyum manis tersungging dibibirnya.
Tanpa terasa waktu terus bergulir,  berputar mengiringi  berbagai aktifitas keseharian penghuni asrama YAPTI. Hari ini tahun keenam Lie  berada di asrama, itu berarti  tahun yang menegangkan buatnya, karena tahun ini akan menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah atas . Sekolah inklusi, istilah untuk  institusi pendidikan yang menerima komunitas penyandang cacat bergabung dengan   siswa-siswi non penyandang cacat. Hatinya mulai diliputi rasa cemas, apa dia akan lulus ujian atau malah harus mengulang dikelas tiga. Tak dihiraukannya, seseorang dari kejauhan yang juga cemas melihat sikapnya, sebatar- sebentar mondar-mandir bak setrikaan, sebentar – sebentar duduk.
 ” Lie, sudah sarapan belum?”. Sapa Fadli teman sekamar Lie,  yang kini tumbuh menjadi pemuda dewasa. Yang disapa tidak mendengar, asyik mendudukkan kepala sambil kedua tangannya  bergerak mengikuti gebukan drum. Istilah dalam ilmu ketunanetraan adalah blind nisem yaitu gerakan refleks yang dilakukan tunanetra sehingga menimbulkan kesan  lucu atau kikuk. Biasanya seorang tunanetra akan melakukannya dalam keadaan diam.
”Hai...!! pagi-pagi melamun”. Sekali lagi Fadli menegur temannya yang dipanggil friend sambil menyenggol pergelangan tangan Lie .
 ”Eh......,mm....sudah”. Jawabnya datar. 
Kembali laki-laki yang diatas bibirnya sudah mulai ditumbuhi kumis tipis, melakukan aktifitas seakan-akan gebuk drum. Fadli hanya angkat alis melihat sikap sahabatnya.
            Seratus meter dari tempat duduk  sahabat  kental ini, wajah manis berambut sebahu, yang sedari tadi  memperhatikan Lie, melirik malu –malu kearah laki-laki marga Go . Pingin menegur dan memberi semangat, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Wanita muda ini hanya memperhatikan wajah Lie  dari tempatnya duduk, nampak wajahnya  bersemu merah menyadari kelakuannya yang sangat memalukan.
 ” Siapa  disitu !”. Menyadari ada yang memperhatikannya, Lie  bersuara.
 ” Saya..., eng.....”.  Jawab Kayla dengan suara tipis,  wajahnya menunduk.
”Duh.....kenapa jadi begini. Aku harus bagaimana?. Duh... bodohnya diriku. Aku salah tingkah, padahal Lie  tidak bisa melihatku’. Kata Kayla dalam hati.
 ”O....”. Lie  menjawab dengan suara bulat, kemudian melanjutkan lamunannya.
Kayla bertambah  bodoh dibuatnya. Dengan keberanian yang tersisa didiri Kayla, gadis berwajah putih ini mencoba memecahkan kesunyian.
” Kak Lie, besok jam berapa pengumuman ujiannya?” Sebetulnya pertanyaan bodoh karena Kayla sudah tahu jam berapa pengumuman ujian kelas tiga,  Kayla sendiri satu sekolah dengan Lie, Lie kakak kelas Kayla.
 ” O......, jam sebelas mungkin”. Jawab Lie sekenanya, kemudian berdiri dan berlalu dari ruang tamu asrama tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
Kayla sangat dongkol melihat sikap acuh Lie. Namun Kayla hanya diam sambil bolak-balik lembaran buku smart emotion karangan Anthoni Deo Marthin yang dipegangnya. Lie mengeluh pendek.
 ” Maafkan saya La. Kamu sangat baik padaku. Dari kelas satu SMA sampai sekarang kamu selalu membantu saya membacakan buku, menulis tugas sekolah. Kamu selalu ada setiap saya membutuhkan pertolongan. Aku sangat menyukaimu. Tapi, aku ragu, apakah kamu juga menyukaiku. Memang kamu sangat perhatian padaku tapi apa itu berarti kamu juga menyukaiku?”. Perang bathin berkecamuk dihati Lie.
Sebetulnya hati Lie  sakit. Sakit menunjukkan sikap acuh pada Kayla. Tapi  mau bagaimana lagi.  Bergegas Lie masuk kekamarnya, mengambil compack disk lalu memasukkan CD rekaman buku bermain dengan drum.
” Maafkan saya La ”. Bisik Lie sekali lagi sambil mendengarkan rekaman tersebut.
Kayla masih duduk diruang tamu asrama. Nampak Muli, salah seorang tunanetra wanita asyik menyimak buku yang  dibacakan oleh Kayla. Kayla yang sehari-hari sebagai volunteer atau istilah di asrama YAPTI ini adalah mitra bakti, membantu dengan sukarela. Mempunyai kegiatan membacakan buku, mengantar seorang tunanetra kesuatu tempat  yang baru dikunjungi, dan mengerjakan pekerjaan yang tidak memungkin seorang tunanetra mengerjakannya sendiri. Selama dua tahun bermitra di yayasan ini banyak pengalaman yang didapat Kayla, semangat baca bukunya meningkat, pengetahuannya  bertambah dan beragam, semakin mengenal karakter seseorang, serta pengalaman organisasinya berkembang.   Bagi Kayla yang berkulit hitam manis,  ini pengalaman yang sangat luar biasa, dan  membuatnya betah berlama- lama bila berkunjung  diasrama bercat coklat. Kayla semakin memahami kebesaran  Allah. Allah Maha Benar,  tidak ada yang membedakan dirinya yang melihat dengan seorang tunanetra.
Selama ini orang menganggap, penyandang cacat khususnya tunanetra hanya bisa merepotkan orang lain, tapi kenyataannya seorang tunanetra bisa juga melakukan hal – hal diluar dugaan seperti memperbaiki  lemari,  kursi,  bahkan menjadi pilot pesawat sekalipun. Yang membedakan hanya cara pandang akan sesuatu dan semangat untuk meningkatkan diri keluar dari kebodohan. Inilah yang membuat Kayla kagum pada Lie, semangatnya untuk menjadi yang terbaik  selalu  diperlihatkan. Hatinya berdesir mengingat nama laki-laki yang mempunyai senyum misterius ini.
” Mul, sudah jam enam sore, Insya Allah besok bacaannya dilanjut lagi ya. Kakak mau pulang”.
”Eh... iya..., sampai  lupa. Abis suara kakak merdu sih, jadi ngak bosan dengarnya”. Puji Muli. Yang dipuji hanya senyum – senyum sambil beranjak dari tempat duduknya.
”okey sampai ketemu lagi. Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Waalaikum Salam  Warahmatullahi Wabarakatuh, makasih ya kak”.
”Iya.....”.

********************
            Angin semilir berhembus halus  di wajah Lie. Didepannya ada secakir  susu ovaltine panas dan roti manis. Sore ini hatinya suka cita karena minggu depan, akan memulai kehidupan yang baru dan semangat baru. ”Menjadi seorang mahasiswa”. ”Semoga aku bisa menjalani semuanya dengan lebih baik dan lebih tabah”. Doanya dalam hati  penuh semangat.
”Cie.....mahasiswa ni ye....., iyo tawwa. Jadi kapan mulai kuliah?”. Tiba-tiba   salah seorang mitra bakti , Lina, menghampiri  Lie yang duduk sendiri dibawah pohon jambu.
” Insya Allah minggu depan”.  Balas Lie sambil senyum.
” Iya pale,  selamat, semoga menjadi mahasiswa yang terbaik. Jangan segan-segan minta tolong kalau memerlukan sesuatu. Poko na’ bilang sajalah”. Tawar Lina dengan logat Makassarnya.
” Pergi ka’ dulu nah, ada buku mau ku bacakan Ruslan”.
”Iye makasih”.
Lie bersyukur banyak teman-teman yang memperhatikan dirinya, memberi semangat untuk selalu berjuang menjadi yang terbaik. Lie sadar ketunanetraannya akan menjadi halangan tersendiri  bila sudah aktif di kampus nanti. Namun Lie bertekad akan melalui itu semua . Ini hanya masalah penglihatan. Allah tidak akan meninggalkan hambanya yang selalu meminta pertolongan. Toh....senior-seniornya juga mengalami hal seperti dirinya tapi berhasil juga , malah sekarang ada yang berhasil menjadi salah seorang anggota KOMNAS HAM. Lagian hari-harinya akan lebih bersemangat karena disampingnya  ada Kayla.
”Ops....!”. ”Kayla.....?” . Lie kaget sendiri dengan kata hatinya. Tiba-tiba rasa kangen mendera disetiap relung hatinya. ”Ya, aku harus ketemu Kayla. Mungkin terlambat mengatakan perasaanku, atau mungkin Kayla akan menolak diriku. Tapi setidak-tidaknya semua semakin jelas dan hatiku akan tenang menahan rindu.
            Siang begitu terik, namun hati Lie sangat teduh. Tongkat putihnya diayun kiri kanan menyusuri jalan kecil menuju asrama. Dengan tongkat ini, mobilitasnya sangat terbantu.  Karena tidak mungkin sepanjang hidupnya didampingi seorang mitra untuk mengantarnya kemana-mana. Karena mitra-mitra tersebut juga manusia, punya kesibukan tersendiri. Memang dalam waktu – waktu tertentu, dia harus ditemani, didampingi oleh orang awas, namun sebisa mungkin Lie melakukan aktifitasnya  secara mandiri. Bagi Lie, dia harus bangkit menjadi yang terbaik, sudah waktunya untuk mandiri. Membuktikan pada diri sendiri dan pada dunia, bahwa tunanetra yang disandangnya, bukan suatu penghalang untuk meraih kesuksesan.
            Hati Lie kebat kebit tidak karuan. Makanan didepannya hanya disentuh sesendok. Lie tidak berselera melanjutkan makan siangnya. Darah yang mengalir dalam tubuhnya berdesir aneh, rasa bahagia.  Lie menekan tombol kecil disudut jam talking yang ada dipergelangan tangan kirinya. Terdengar suara yang menunjukkan pukul 14.37. Itu berarti dua jam lagi dari sekarang Kayla akan datang . Pagi tadi dikampus, Lie janjian ketemu Kayla di asrama ini. Lie bertekad akan menyatakan perasaannya. Sebetulnya disudut hati yang lain, Lie ragu. Apa benar Kayla juga punya perasaan yang sama dengannya. Berlahan-lahan Lie menepis keraguannya tersebut. ”Tidak, aku tidak bisa menundanya. Aku menyukai Kayla. Aku harus mengatakannya sekarang. Mungkin terlambat atau mungkin saya ditolak. Namun setidak-tidaknya perasaanku ini ada kepastiannya”.  Berkecamuk bathin Lie. 
            Lie asyik  mendengarkan e-book (elektronik book) Hary Potter ketika Kayla memasuki ruang komputer. ’” Siapa itu?”. Dengan langkah-langkah kaki Kayla, Lie tahu bahwa yang baru masuk itu pasti Kayla. Cewek yang membuat hari-harinya semakin berwarna.
”Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Waalaikum  Salam  Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Kak, katanya ada yang ingin disampaikan ?” Tanya Kayla sambil menarik kursi dan duduk didepan Lie. Lie mematikan komputer. Lalu membalikkan badan kearah Kayla, memperbaiki duduknya. Hatinya kembali berdesir aneh. Lie tersenyum manis kearah Kayla. Kayla membalasnya. Walau Lie tidak melihat senyum gadis didepannya namun kepekaannya sangat luar biasa.
  La....., saya minta maaf  memanggilmu kemari. Memang ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu”. Lie diam sejenak menyusun kata-kata yang tepat, agar tidak menyinggung perasaan Kayla dan maksud hatinya juga kesampaian.  Kayla menahan napas dibuatnya. Hati kewanitaanya merasa apa yang akan disampaikan Lie, itu juga yang ada dihatinya. Namun Kayla  menunggu pernyataan itu keluar dari bibir Lie sendiri.
 ” Ayo dong  kak, lama sekali lamunannya. Buruan neh” . Desak Kayla dalam hati. Penasaran melihat sikap Lie.
” Aku juga punya perasaan yang sama dengan kakak  kok”. Bisik Kayla lagi.
” La.....saya me...............”.
” Kay ..... hai....lho kok masih disini. Katanya mau menemani saya nonton. Kata mamamu kamu keasrama, jadi saya susul kesini. Aku sudah izin sama macemu. Kita nonton di TO ya. Ayo dong buruan ”. Tiba – tiba Hanung nyelong masuk keruang komputer.
” Hai ..Lie, apa kabar?” Hanung beralih kearah Lie,  meraih tangan kanan Lie menjabat erat. Hanung salah seorang mitra bakti yang baru saja bergabung di yayasan ini.
” Alhamdulillah baik. Kak Hanung baik juga”. Lie sangat dongkol dengan kehadiran Hanung yang secara tiba-tiba. Apalagi dengan ajakan Hanung. Mereka sudah janjian nonton rupanya. Hati Lie sakit. Tapi Lie mencoba tersenyum tulus. Nampak Kayla serba salah. Wajahnya merah menahan marah.
’Siapa yang janjian nonton”. Gerutu Kayla dalam hati.
” Kak Lie ta......”
” La....ok besok saja ya , tugas bahasa inggris saya ditulis . Ini bukunya. Makasih sebelumnya. Selamat bersenang-senang”. Potong Lie sambil menyerahkan buku tulis ketangan Kayla. Lie beranjak pergi setelah pamit pada Hanung. Hancur hati Lie.
”Bodohnya diriku ini. Semestinya dari awal aku tahu, Hanung juga punya rasa terhadap Kayla. Saya memang tidak pantas kok”. Lie berjalan gontai  menuju lantai dua, kekamarnya.
” Pasti Kayla lebih memilih Hanung dari pada diriku yang tidak bisa melihat. Apa yang bisa dibanggakan dari seorang tunanetra sepertiku”. Resah Lie dalam hati. 
Masih ditempat duduknya, Kayla hanya memandang buku Lie. Hatinya kacau, kecewa, sakit hati. Pingin nangis sejadi-jadinya tapi malu dengan penghuni asrama ini. Tak dihiraukannnya desakan Hanung untuk segera beranjak dari tempat duduknya .
” Ah.... semestinya saya tahu, perasaan Lie cuma sebatas minta tolong dibacakan buku. Tidak lebih. Apalah saya ini, masih SMA. Tentu cewek-cewek dikampusnya banyak yang cantik dan lebih cerdas dariku. Lebih loyal untuk membantunya”.
” Ayo dong buruan, sudah jam setelah lima’. Desak Hanung lagi.
Perlahan Kayla beranjak dari tempat duduknya, mengikuti langkah Hanung.  wajahnya masih muram. Berat sekali kakinya untuk melangkah. Ketika melewati asrama, kepala Kayla mendongak kearah kamar Lie berharap ada bayangan Lie atau terdengar suara Lie. Namun hatinya kecewa. Ada sepotong hatinya tertinggal diasrama. Kayla menarik napas panjang mengeluarkan sesak didadanya.
            Lie duduk diujung tempat tidurnya. Sepotong hatinya terbawa langkah kaki Kayla. Berkali-kali Lie manarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Ada air bening jatuh disudut mata Lie. Lie tidak menyekanya, membiarkan air matanya jatuh menyentuh lantai.
” Aku harus tegar, rasa ini hanya sedikit dari cobaan yang harus kuhadapi untuk meraih masa depan yang lebih cerah”. Bisiknya mencoba menghibur diri. Diingatnya semua bacaan dari pakar motivasi.
” Ya...! Aku harus bangkit. Mungkin belum waktunya merasakan hal seperti ini. Akan tiba saatnya. Yang penting aku harus semangat menyelesaikan kuliah. Menyusun semua target hidupku. Membuat bangga komunitas dan tentu saja kedua orang tua dan adikku”.
Senyum Lie kembali berkembang, manis dan tulus.
” bantu aku ya Allah”.  Doanya dalam hati.
Lamat-lamat terdengar lagu Naff ”kesempurnaan cinta”    
Kau begitu berarti, sungguh sangat berarti
Kesempurnaan cinta kau beri.......
Aku menyayangimu dalam senyum dan tangisku
Dan aku mencintaimu dalam hidup dan matiku..............




































1 komentar:

tambah